MAKALAH
PENYESUAIAN DIRI DAN PERMASALAHAN
PADA REMAJA
Mata Kuliah : Perkembangan Peserta Didik
Disusun oleh kelompok 12 :
Gafur Abdilah
Rizki Basriani
JURUSAN
PENDIDIKAN TEKNOLOGI
INFORMATIKA KOMPUTER
STKIP PGRI
BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK
2014
K A T A P
E N G A N T A R
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga penyusunan makalah
ini berjalan lancar dan terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas kelompok
sebagai syarat untuk melakukan persentasi mata
kuliah Dasar-dasar Pendidikan.
Makalah ini merupakan makalah pertama
yang kami buat tentang bahasan “Penyesuaian
Diri dan Permasalahannya”. Sebagaimana
dalam makalah kami yang pertama ini, makalah ini bermaksud untuk menyumbangkan
sebagian pengetahuan yang telah kami diskusikan dengan berbagai sumber
tentunya. Diharapkan pembaca dapat memiliki wawasan yang luas, arif, dan
bijaksana dalam menelaah dan menyikapi problematika tentang Penyesuaian Diri dan Permasalahannya.
Selain hal tersebut, harapan yang lebih
besar adalah jika pembaca mampu memecahkan secara professional dan ilmiah.
Kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu , curahan tenaga dan pikiranya
untuk menghasilkan makalah ini disampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi
pembaca dan dapat member sumbangsi yang positif bagi kita semua. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan, dan kami
mengaharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Banjarmasin,
20 Oktober 2014
Kelompok 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Makna
akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal
yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan di luar sekolah ia memiliki
sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan
pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang
pribadi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu
di masa mendatang.
Seseorang
tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu
menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental dan emosional dipengaruhi dan
diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan dimana kemungkinan akan berkembang
proses penyesuaian yang baik atau yang salah. Sejak lahir sampai meninggal
seorang individu merupakan organisme yang aktif. Ia aktif dengan tujuan dan
aktifitas yang berkesinambungan. Ia berusaha untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi peluang
kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya.
Penyesuaian
diri adalah suatu proses. Dan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat
mentalnya adalah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara
harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Untuk lebih
jelasnya marilah kita tinjau secara lebih rinci pengertian dan proses
penyesuaian diri, karakteristik penyesuaian diri remaja dan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses penyesuaian diri
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.Apakah
pengertian dari penyesuain diri itu?
2.Bagaimana
proses penyesuaian diri?
3.Apa
saja karakteristik penyesuaian diri?
4.Apa
saja faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri?
5.Apa
saja permasalahan penyesuaian diri remaja?
6.Bagaimana
dinamika penyesuaian diri remaja ?
C.
Ruang Lingkup
Dari masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, maka
pemakalah menetapkan ruang lingkup untuk materi yang akan dibahas yakni:
1.
Konsep penyesuaian diri remaja,
2.
Faktor yag mempengaruhi proses penyesuaian diri remaja,
3.
Permasalahan pada proses penyesuaian diri remaja,
4.
Implikasi penyesuaian diri remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah
adjustment atau personal adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian
diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri
sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konfornitas
(conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery).
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan
sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah
pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya,
seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus
beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut.
a.
Aspek-aspek
Penyesuaian Diri
1.
Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian
pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga
tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia
menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya
dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari
dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada
kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan
atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa
kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya
kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan,
ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya
gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah
yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut
dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian
diri.
2.
Penyesuaian Sosial
Setiap
iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat
proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut
timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan,
hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai
penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu
psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup
dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup
hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah,
teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat
sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap
berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas
(masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang
individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua
hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka
penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan
ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang
mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan
Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan
individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku
yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal
yang tidak diterima oleh masyarakat.
b.
Penyesuaian diri dapat diartikan
atau dideskripsikan sebagai berikut :
·
Penyesuaian berarti adaptasi: dapat
mempertahankan eksistensinya, atau bisa “survive” dan memperbolehkan
kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang
memuaskan dengan tuntutan.
·
Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang
berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip.
·
Penyesuaian dapat diartikan sebagai
penguasaan,yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi
respon- respon sedemikian rupa, sehingga bisa mrngatasi segala macam konflik,
kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan
menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/ memenuhi syarat.
·
Penyesuaian dapat diartikan penguasa
dan kematangan emosional yang tepat pada setiap situasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri
sendiri dan pada lingkunganya.
B. Penyesuaian
Diri yg Baik
Seseorang
dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik atau yang dalam istilah
aslinya disebut “well adjusted person”
adalah manakala individu itu mampu melakukan respons-respons yang matang,
efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan
respons dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat
artinya respons-respons yang dilakukan individu cocok dengan hakikat individu,
lembaga, atau kelompok individu, dan hubungan antara individu dengan penciptanya.
Bahkan,dapat dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran karakteristik yang
paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri itu
dikatakan baik.
Dengan
demikian, individu yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah
yang talah belajar mereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara
yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik
mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan social tanpa mengembangkan
perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan
moral, social, agama, dan pekerjaan.
C. Proses
Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah proses
bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai
dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak
pernah tercapai.Penyesuaian yang sempurna terjadi jika manusia/individu selalu
dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya di mana tidak ada
lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan di mana semua fungsi
organisme/individu berjalan normal.
Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang
sempuna seperti itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri
lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong process), dan manusia
terus-menerus berupaya menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna
mencapai pribadi yang sehat.
Respon penyesuaian, baik atau buruk,
secara sederhana dapat dipandang sebagai upaya individu untuk mereduksi atau
menjauhi ketegangan dan memelihara kondisi-kondisi keseimbangan yang lebih
wajar. Penyesuaian adalah suatu proses kearah hubungan yang harmonis antara
tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat
saja muncul konflik, tekanan, dan frustasi, dan individu didorong meneliti
berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan diri dari ketegangan.
Apakah seseorang berhadapan dengan
penyesuaian sehari-hari yang sederhana, atau suatu penyesuaian yang rumit,
terdapat suatu pola dasar yang terdiri dari elemen-elemen tertentu. Contoh:
seorang anak yang membutuhkan rasa kasih sayang dari ibunya yang terlalu sibuk
dengan tugas-tugas lain. Anak akan frustasi dan berusaha sendiri menemukan
pemecahan untuk mereduksi ketegangan/kebutuhan yang belum terpenuhi. Dia
mungkin mencari kasih sayang dimana-mana, atau mengisap jarinya, atau bahkan
tidak berupaya sama sekali, atau makan secara berlebihan, sebagai respon pengganti
bila kebutuhan-kebutuhan tidak terpenuhi secara wajar.
Dalam beberapa hal, respon pengganti
tidak tersedia, sehingga individu mencari suatu respon lain yang akan memuaskan
motivasi dan mereduksi ketegangan.
Individu dikatakan berhasil dalam
melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan
cara-cara yang wajar atau apabila dapat diterima oleh lingkungan tanpa
merugikan atau mengganggu lingkungannya.
D. Karakteristrik
Penyesuaian Diri Remaja
Sesuai
dengan kekhasan perkembangan fase remaja, maka penyesuaian diri dikalangan
remaja pun memiliki karakteristik yang khas pula. Adapun karakteristik
penyesuaian diri remaja adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini :
1.
Penyesuaian
diri remaja terhadap peran dan identitasnya
Pesatnya perkembangan
fisik dan psikis, seringkali menyebabkan remaja mengalami krisis peran dan
identitas. Sesungguhnya, remaja senantasa berjuang agar dapat memainkan
perannya sesuai dengan perkembangan masa peralihannya dari masa anak-anak
menjadi masa dewasa. Tujuannya adalah memperoleh identitas diri yang semakin
jelas dan dapat dimengerti serta diterima oleh lingkungannya, baik lingkungan
keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dalam konteks ini, penyesuaian diri
remaja secara khas berupaya untuk dapat berperan sebagai subjek yang
kepribadiannya memang berbeda dengan anak-anak ataupun orang dewasa.
2.
Penyesuaian
diri remaja terhadap pendidikan
Krisis
identitas atau mas topan dan badai pada diri remaja seringkali menimbulkan
kendala dalam penyesuaian diri terhadap kegiatan belajarnya. Pada umumnya,
remaja sebenarnaya mengetahui bahwa untuk menjadi orang yang sukses harus rajin
belajar. Namun, karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas diri yang
kuat menyebabkan mereka sering kali lebih senang mencari kegiata-kegiatan
selain belajar tetapi menyenangkan bersama-sama dengan kelompoknya. Akibatnya,
yang muncul dipermukaan adalah sering kali ditemui remaja tampak malas dan
tidak disiplin dalam belajar. Tidak jarang remaja ingin sukses dalam menempuh
pendidikan, tetapi dengan cara mudah dan tidak perlu bersusah paah
belajar. Jadi, dalam konteks ini, pada
dasarnya penyesuaian diri remaja secara khas berjuang ingin meraih sukses dalam
studi, tetapi dengan cara-cara yang menimbulkan perasaan bebas dan senag,
terhindar dari tekanan dan konflik, atau bahkan frustasi
3.
Penyesuaian
diri remaja terhadap kehidupan seks
Secara
fisik, remaja telah mengalami kematangan pertumbuhan fungsi seksual sehngga
perkembangan dorongan seksual juga semakin kuat. Ini berate remaja perlu menyesuaikan
penyaluran kebutuhan seksualnya dalam batas-batas penerimaan moral dan agama
sehingga terbebas dari kecemasan psikoseksual. Jadi, secara khas, penyesuaian
diri dalam konteks ini adalah ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan
jenisnya serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorongan seksualnya yang dapat
dimengerti dan dibenarkan oleh norma dan agama.
4.
Penyesuaian
diri remaja terhadap norma social
Dalam
kehidupan keluarga, sekolah, maupun masyarakat tentunya memiliki ukuran-ukuran
dasar yang dijunjung tinggi mengenai apa yang dikatakan baik atau buruk, benar
atau salah,dan yag boleh atau tidak boleh dilakukan, dlam bentuk norma-norma,
hokum, nilai-nilai moral, sopan santun, maupun adat istiadat. Berbagai bentuk
aturan pada sekelompok masyarakat tertentu belum tentu dapat diterima oleh
kelompok masyarakat yang lain. Remaja yang cerderung membentuk dan memiliki
kesepakatan tauran tersendiri yang kadang-kadang kurang dapat dimengerti oleh
lingkungan masyarakat diluar kelompok remaja tersebut. Dalam konteks ini,
penyesuaian diri remaja terhadapa norma social mengarah pada dua dimensi. Pertama, remaja ingin diakui
kehadirannya didalam masyarakat luas, yang berarti remaja harus mampu
menginternalisasikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kedua, remaja ingin bebas menciptakan
atura-aturan tersendiri yang lebih cocok untuk kelompoknya, tetapi menuntut
agar dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat dewasa. Ini dapat diartikan
bahwa perjuangan penyesuaian diri remaja terhadap norma social adalah ingin
menginteraksikan antara dorongan untuk bertindak bebas dengan tuntutan norma
social pada masyaraka. Tujuannya adalah agar dapat terwujud internalisasi
norma, baik pada kelompok remaja itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah,
maupun masyarakat luas.
5.
Penyesuaian
diri remaja terhadap penggunaan waktu luang
Waktu luang,
bagi remaja merupakan kesempatan untuk memenuhi dorongan bertindak bebas.
Namun, disisi lain remaja dituntun mampu menggunakan waktu luangnya untu
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Jadi, dlam
konteks ini, upaya penyesuaian diri remaja adalah melakukan penyesuaian antara
dorongan kebebasannya serta inisiatif dan kreativitasnya dengan
kegiata-kegiatan yang bermanfaat. Dengan demikian, penggunaan waktu luang akan
menunjang pengembangan diri dan manfaat social.
6.
Penyesuaian
diri remaja terhadap penggunaan uang
Dalam
kehidupannya, remaja juga berupaya untuk memenuhi dorongan social yang
memerlukan dukungan uang. Karena remaja sesungguhnya belum sepenuhnya bias
mandiri, maka dalam masalah uang ini biasanya memperoleh jatah dari orang tua
sesuai dengan kemampuan keluarganya. Rangsangan, tantangan, tawaran, inisiatif,
kreativitas, petualangan, dan kesempatam-kesempatan yang diterima dari orang
tuanya menjadi tidak cukup. Oleh sebab itu, dalam konteks ini perjuangan
penyesuaian diri remaja adlaah berusaha untuk mampu bertindak secara
propesional, meakukan penyesuaian antara kelayakan pemenuhan kebutuhannya
dengan kondisi ekonomi orang tuanya. Dengan upaya penyesuaian diri sedemikian
itu diharapkan penggunaan uang akan menjadi efektif dan efisien serta tidak
menimbulkan kegoncangan pada diri remaja itu sendiri.
7.
Penyesuaian
diri remaja terhadap kecemasan, konflik, dan frustasi
Karena
proses perkembangan yang sangat dinamis, remaja seringkali dihadapkan pada
kecemasan, konflik, dan frustasi. Strategi yang digunakan dalam penyesuaian
diri dengan kecemasan, konflik, dan frustasi tersebut biasanya melalui suatu
mekanisme yang oleh Sigmund Freud disebut dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanisme), seperti :
kompensasi, rasionaliasi, proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi, dan
fiksasi. Cara-cara yang ditempuh tersebut ada yang cenderung negative atau
kurang sehat dan ada pula yang relative positif, misalnya sublimasi. Dalam
batas-batas kewajaran dan situasi tertentu untuk sementara cara-cara tersebut
memang masih memberikan manfaat dalam upaya penyesuaian diri remaja. Namun,
jika cara-cara mekanisme pertahanan diri itu seringkali ditempuh dan menjadi
kebiasaan, maka akan menjadi tidak sehat.
E. Faktor-faktor
yg Mempengaruhi Proses Penyesuaian Remaja
Penyesuaian diri dipengaruhi oleh
banyak faktor, secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri remaja menurut Hariyadi, dkk (1995:110) dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1)
Faktor internal
a)
Faktor motif, yaitu motif-motif
sosial seperti motif berafiliasi, motif berprestasi dan motif mendominasi.
b)
Faktor konsep diri remaja, yaitu
bagaimana remaja memandang dirinya sendiri, baik dari aspek fisik, psikologis,
sosial maupun aspek akademik. Remaja dengan konsep diri tinggi akan lebih
memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri yang menyenangkan dibanding
remaja dengan konsep diri rendah, pesimis ataupun kurang yakin terhadap
dirinya.
c)
Faktor persepsi remaja, yaitu
pengamatan dan penilaian remaja terhadap objek, peristiwa dan kehidupan, baik
melalui proses kognisi maupun afeksi untuk membentuk konsep tentang objek
tersebut.
d)
Faktor sikap remaja, yaitu
kecenderungan remaja untuk berperilaku positif atau negatif. Remaja yang
bersikap positif terhadap segala sesuatu yang dihadapi akan lebih memiliki
peluang untuk melakukan penyesuaian diri yang baik dari pada
remaja yang sering bersikap negatif.
remaja yang sering bersikap negatif.
e)
Faktor intelegensi dan minat,
intelegensi merupakan modal untuk menalar. Manganalisis, sehingga dapat menjadi
dasar dalam melakukan penyesuaian diri. Ditambah faktor minat, pengaruhnya akan
lebih nyata bila remaja telah memiliki minat terhadap sesuatu, maka proses
penyesuaian diri akan lebih cepat.
f)
Faktor kepribadian, pada prinsipnya
tipe kepribadian ekstrovert akan lebih lentur dan dinamis, sehingga lebih mudah
melakukan penyesuaian diri dibanding tipe kepribadian introvert yang cenderung
kaku dan statis.
2). Faktor eksternal
a) Faktor keluarga.
Terutama pola asuh orang tua. Pada
dasarnya pola asuh demokratis dengan suasana keterbukaan akan lebih memberikan
peluang bagi remaja untuk melakukan proses penyesuaian diri secara efektif.
b) Faktor kondisi sekolah.
Kondisi sekolah yang sehat akan
memberikan landasan kepada remaja untuk dapat bertindak dalam penyesuaian diri
secara harmonis.
c) Faktor kelompok sebaya.
Hampir setiap remaja memiliki
teman-teman sebaya dalam bentuk kelompok. Kelompok teman sebaya ini ada yang
menguntungkan pengembangan proses penyesuaian diri tetapi ada pula yang justru
menghambat proses penyesuaian diri remaja.
d) Faktor prasangka sosial.
Adanya kecenderungan sebagian
masyarakat yang menaruh prasangka terhadap para remaja, misalnya memberi label
remaja negatif, nakal, sukar diatur, suka menentang orang tua dan lain-lain,
prasangka semacam itu jelas akan menjadi kendala dalam proses penyesuaian diri
remaja.
e) Faktor hukum dan norma sosial.
Bila suatu masyarakat benar benar
konsekuen menegakkan hukum dan norma-norma yang berlaku maka akan mengembangkan
remaja-remaja yang baik penyesuaian dirinya. Sunarto dan Hartono (1994:188)
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yaitu :
Ø Kondisi fisik
Kondisi fisik termasuk di dalamnya
keturunan, konstitusi fisik, susunan syaraf, kelenjar dan sistem otot,
kesehatan, penyakit dan sebagainya. Kualitas penyesuian diri yang baik hanya
dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan fisik yang baik.
Ø Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan
intelektual, sosial, moral dan emosional. Penyesuaian diri pada tiap-tiap
individu akan bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang
dicapainya.
Ø Penentu psikologis
Banyak sekali faktor psikologis yang
mempengaruhi prosespenyesuaian diri, diantaranya yaitu pengalaman,
belajar,kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, frustrasi dan konflik.
Ø Kondisi lingkungan
Keadaan lingkungan yang damai,
tentram, penuh penerimaan, pengertian dan mampu memberi perlindungan kepada
nggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses
penyesuaian diri.
Ø Penentu cultural
Lingkungan kultural dimana individu
berada dan berinteraksi akan menentukan pola penyesuaian dirinya. Contohnya,
tata cara kehidupan di panti asuhan akan mempengaruhi bagaimana remaja
menempatkan diri dan bergaul dengan orang lain di sekitarnya.
Pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
F. Dinamika
Penyesuaian Diri Remaja
Penyesuaian
diri merupaka suatu proses yang bersifat dinamis. Dinamika penyesuaian diri itu
melibatkan factor-faktor psikologis dasar yang menghantarkan individu kepada
perilaku yang ajastif/penyesuaian diri yang baik (adjustive behavior). Perilaku ajastif adalah respons-respon yang
diarahkan kepada usaha memenuhi tuntunan internal dan external. Tujuan dari
respons-respons yang ajastif adalah untuk menyiapkan hubungan yang tepat dan
akurat antara individu dan realitas. Dilihat dari sudut pandang yang lebih
dalam, tujuannya adalah mengenal ekspresi dan kepuasan faktor-faktor dinamis di
dalam kepribadian, misalnya : pengurangan ketegangan, konflik, dan frustasi.
Namun demikian, dalam hubungannya dengan kebutuhan dasar, perilaku ajastif
tidak selalu mengarahkan respons kepada orientasi pengurangan dan pemuasan
kebutuhan dasar, baik berupa dorongan fisikologi, psikologis, maupun social.
Ada sejumlah
faktor psikologis dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika
penyesuaian diri, yaitu :
1. Kebutuhan (need)
2. Motivasi (motivation)
3. Pesrepsi (perception)
4. Kemampuan (capacity)
5. Kepribadian (personality)
Bagaimanakah
masing-masing faktor psikologis dasar itu mempengaruhi dinamika penyesuaian
diri remaja adalah bagaimana didiskusikan berikut ini.
1. Kebutuhan (need)
Ini merupakan kebutuhan yang bersifat internal. Dari
faktor ini, penyesuaian diri ditafsirkan sebagai suatu jenis respons yang
diarahkan untuk memenuhi tuntunan-tuntunan yang harus dipenuhi oleh individu.
Tuntunan-tuntunan untuk mengatasinya itu dalam prosesnya didorong secara
dinamis oleh kebutuhan-kebutuhan internal yang disebut dengan “need” tersebut
2. Motivasi (motivation)
Penafsiran
terhadap karakter dan tujuan respons individu serta hubunganya dengan
penyesuaian diri tergantung pada konsep-konsep yang menerangkan hakikat
motivasi. Ada lima teori motivasi yang dapat digunakan untuk menerangkan
dinamika penyesuaian diri, yaitu :
a) Teori
stimulus-repons
Dari
perspektif teori ini, motivasi dianggap sebagai sesuatu yang kurang berate
sebab semua perilaku, termasuk yang kurang berarti sebab semua perilaku,
termasuk penyesuaian diri, muncul hanya sebagai pengkondisian untuk merespons
stimulus sehingga perilaku refleks dan kebiasaan membentuk totalitas respons
individu.
b) Teori
fisiologis
Teori ini
erat kaitannya dengan teori stimulus-respons, dan berpandangan bahwa
pengurangan motivasi atau usaha pemuasan motif tertentu ditentukan oleh
stimulus. Padahal, sebenarnya banyak motif dan kebeutuhan psikologis lainnya
yang cukup berarti bagi penyesuaian diri yang perlu diintegrasikan ke dalam
setiap teori motivasi. Teori fisiologis tidak dapat menjawab tantangan itu.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami kekhususan nilai penyesuaian diri harus
berpaling pula kepada hal-hal diluar unsure fisiologis.
c) Teori intrinsic
Teori ini
memiliki beberapa bentuk, tergantung pada filsafat yang melandasinya, tetapi
ada dua pandangan yang sangat menonjol dalam hubungannya dengan penyesuaian
diri, yaitu : pandangan “hornic” dan
“psikonalisis”. Menurut pandangan “hornic” yang dikemukakan oleh William
McDougall mengatakan bahwa semua perilaku individu itu dimunculkan untuk
melayani dan memenuhi instink dasar. Oleh karena itu, instink dasar merupakan
penentu internal yang utama dalam penyesuaian diri individu.
Pada awalnya,
teori ini banyak diminati, namun dalam perkembangan selanjutnya banyak dikecam
orang. Adapun pandangan psikonalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud
membagi dua jenis instink, yaitu instink kehidupan (eros) dan instink kematian (tanthos).
Dalam hubungannya dengan penyesuaian diri, Sigmund Freud berpandangan bahwa
instink seksual yang merupakan salah satu bentuk instink kehidupan sebagai
penentu perkembangan penyesuaian diri individu. Teori instink dari Sigmud Freud
itu dapat digunakan untuk memahami penyesuaian diri individu berdasarkan
tahap-tahap perkembangan.
d) Teori
motivasi tak sadar
Teori ini
juga didominasi dan dikemukakan oleh Sigmund Freud. Sebagai salah satu bukti
adanya motivasi tak sadar yang mempengaruhi dinamika penyesuaian diri dibuktikan
oleh Sigmund Freud dalam eksperimennya melalui pengalaman-pengalaman psikologi
klinisnya yang mendapati bahwa orang-orang yang berprilaku malasuai (maladjusted) maupun yang berpilaku
ajastif (adjusted) mengungkapkan
bahwa motivasi yang mendasari symptom perilakunya itu sering tidak diketahui
atau tidak disadari.
e) Teori hedonistic
Teori ini
masih berhubungan dengan teori Sigmund Freud tentang prinsip-prinsip pemuasan
kesenangan (pleasure principles).
Menurut teori ini, suasana hedonism berarti perilaku yang diarahkan untuk
memenuhi kesenangan individu dan ini dianggap penting karena pada dasarnya
kebutuhan merupakan tuntunan internal yang harus dipuaskan agar dapat mencapai
penyesuaian diri yang baik. Kebutuhan merupakan kecenderungan yang bersifat
dinamis yang berorentasi pada objek, kualitas, dan pengalaman yang diperlukan
untuk mengetahui keadaan fisik, psikis, dan social suatu organisme. Jika salah
satu bentuk kecenderungan yang bersifat dinamis itu terganggu karena tidak
terpenuhi, maka organisme akan cenderung membentuk perilaku yang tidak memadai,
simptomatk, dan patologos. Ini berarti bahwa penyesuaian diri individu menjadi
sangat terganggu sehingga taidak dapat berkembang secara baik.
3. Pesrepsi (perception)
Setiap
individu dalam menjalani hidupnya selalu memiliki presepsi sebagai hasil
penghayatannya terhadap bebagai stimulus yang berasal dari lingkungannya. Tidak
jarang persepsi dipahami sebagai suatu pencerminaan yang sempurna tentang
realitas. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Setidaknya ada tiga alas an
yang mendukung bahwa persepsi itu bukanlah cermin realitas : Pertama, indera yang dimiliki oleh
manusia tidak dapat memberikan respons terhadap semua aspek yang ada dalam
lingkungan. Kedua, manusia seringkali
melakukan persepsi terhadap stimulus-stimulus yang pada kenyataannya tidak ada.
Ketiga, persepsi manusia itu
tergantung pada apa ygang diharapkan, pengalaman yang dimilikinya, dan motivasi
yang ada pada dirinya. Dengan demikian, persepsi sesungguhnya bukanlah
merupakan suatu gambaran yang persis sama dengan realitas yang ada, melainkan
gambaran yang perwujudannya sudah diwarnai oleh interpretasi individu.
Jadi,
persepsi sesungguhnya merupakan proses menginterpretasikan dan mengorganisasikan
pola-pola stimulus yang berasal dari lingkungan. Dalam pengertian ini terdapat
dua unsure penting yakni interpretasi dan mengorganisasian. Interpretasi itu
amat penting dalam suatu persepsi karena realitas didunia ini amat bervariasi
sehingga tidak jarang memerlukan upaya pemahaman dari individu agar menjadi
bermakna bagi individu yang bersangkutan. Sedangkan pengorganisasian diperlukan
dalam persepsi karena bebebagai informasi yang sampai pada reseptor individu
tidak jarang ada yang membingungkan dan tak terorganisasikan. Agar informasi
yang sampai pada reseptor itu dapat menjadi jelas dan bermakna, maka individu
masih perlu mengorganisasikannya ketika informasi itu diterima oleh reseptor.
Persepsi
juga dapat diartikan sebagai cara-cara dimana individu menginterpretasikan
informasin yang diperoleh yang berdasarkan pada pemahaman individu itu sendiri.
Dengan kata lain, individu menyadari kehadiran suatu stimulus, tetapi individu
menginterpretasikan stimulus tersebut. Dalam definisi ini terkandung dua makna,
yakni : pertama, persepsi itu
tergantung pada sensasi-sensasi yang didasarkan pada informasi sensori dasar (basic sensory information); kedua, sensasi-sensai itu memerlukan
interpretasi agar presepsi adapat terjadi. Informasi sensori dasar disini
adalah informasi yang sesungguhnya terjadi yang sampai pada alat indra kita.
Misalnya, suara loncong tanda masuk sekolahyang sampai pada telinga para siswa.
Jadi, para siswa tidak akan mendengar suara lonceng tanda masuk itu jika
lonceng tanda masuk memang tidak ada. Namun, bagaimana lonceng tanda masuk itu
mempengaruhi para siswa untuk bergegas masuk kelas atau tidak, sangat
tergantung pada interpretasi para siswa terhadap suara itu. Di sinilah letak
terjadinya persepsi.
Dengan
persepsi, individu dapat menentukan bagaimana seharusnya bereaksi terhadap
stimulus yang ada disekitarnya karena persepsi merupakan rangkaian peristiwa
yang mengantarai stimulus dan prilaku tertentu. Morgan (1981) lebih menekan
pada proses interpretasi terhadap apa yang dialami dan dirasakan untuk
membuatnya bermakna. Untuk membuat sesuatau agar lebih bermakna diperlukan adanya
keterlibatan aktif dari aktifitas inderawi yang berhubungan dengan pengamatan
dan interpretasi.
Yang masih
sering menjadi bahan perdebatan sampai dengan saat ini adalah apakah persepsi
itu dibawa sejak lahir ataukah merupakan hasil dari proses belajar atau
pengalaman. John Lock dan para pengikutnya berpendapat bahwa persepsi itu tidak
dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil proses belajar dan pengalaman. Bahkan
merekan menegaskan bahwa persepsi hanya mungkin terjadi pada individu setelah
melalui proses pengalaman dan belajar yang cukup lama (Eysenck, 1993).
Sebaliknya, para psikolog Jerman, terutama para penganut Gestalt, berpendapat
bahwa persepsi itu merupakan pembawaan sejak lahir. Mereka secara tegas
mengatakan bahwa yang paling penting dalam proses presepsi adalah yang dibawa
sejak lahir dan tidak tergantung secara langsung pada pengalaman.
Eysenck
(1993) mempersoalkan pendapat para penganut Gestalt ini. Ia mengatakan, kalau
persepsi itu merupakan pembawaan sejak lahir, maka seharusnya setiap individu
dapat memprersepsi sesuatu secara tepat. Namun, kenyataanya pada bayi yang baru
saja lahir barangkali sudah dapat mempresepsi stimulus yang ada disekelilingnya,
tetapi tidak dapat memanifestasikan dan apalagi mendeskripsikan persepsinya
itu. Dengan demikian, persepsi sesungguhnya memerlukan proses belajar dan
pengalaman, meskipun ada beberapa keterampilan perceptual tidak menuntut
pengalaman, misalnya: anak bayi sudah mampu mendengarkan suara-suara di
sekelilingnya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa persepsi adalah proses
individual dalam menginterprestasikan, mengorganisasikan, dan member makna
terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan dimana individu itu berada yang
merupakan hasil dari proses belajar dan pengalaman.
Persepsi
yang ada pada individu tidak terjadi dengan sendirinya tetapi melalu suatu
proses. Prosesnya adalah objek kejadian yang dialami oleh individu kan menimbulkan
stimulus yang kemudian mengenal alat indera. Proses ini dinamakan proses
kealaman. Stimulus yang diterima alat indera ini dilanjutkan oleh syaraf
sensoris ke otak. Proses ini disebut proses fisologis. Kemudian terjadilah
proses di dalam otak sehingga individu dapat menyadari apa yang diterima
melalui alat inderanya. Proses yang terjadi dalam otak ini dinamakan proses
psikologis. Pada tahap ini individu member makna terhadap apa yang diterima
melalui inderanya itu. Menurut Atkinson dan Hilgard (1983) proses terjadinya
persepsi tergantung pada pengalaman masa lalu dan pendidikan yang telah
diperoleh individu, perangsang spesifik yang menimbulkan reaksi alat-alat
indera pada waktu itu, dan interpretasi individu dalam menafsirkan informasi
yang diterimanya. Serangkaian penghayatan dan proses belajar yang dilakukan
oleh individu kan dipakai sebagai pedoman tingkah laku. Dalam menafsirkan suatu
kejadian atau situasi, persepsi setiap individu dapat berbeda tergantung pada
bagaimana individu tersebut mengamati dan menanggapinya.
Dengan
demikian, persepsi terjadi pada individu melalui tahap-tahap sebagai berikut:
(1) adanya stimulus yang ditangkap oleh panca indera, (2) adanya kesadaran
individu terhadap stimulus, (3) individu menginterpretasikan stimulus tersebut,
dan (4) individu mewujudkan kedalam tindakan. Dalam prosesnya, persepsi itu
juga dipengaruhi oleh factor fungsional dan structural. Faktor fungsional
adalah factor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal
lain yang bersifat personal, sedangkan factor structural dalah factor yang
berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik dan pengaruh syaraf individu.
Persepsi
remaja memiliki pengaruh yang berarti terhadap dinamika penyesuaian diri karena
persepsi memiliki peranan penting dalam perilaku, yaitu :
·
Sebagai
penentuan perkembangan sikap terhadap sesuat objek atau peristiwa. Ini berarti
akan berpengaruh terhadap perilaku penyesuain diri yang lebih terarah.
·
Sebagai
pengembangan fungsi-fungsi kognitif, afektif, dan konatif sehingga berpengaruh
terhadap penyesuaian yang lebih utuh dan proporsional sesuai dengan
pertimbangan dan pengalaman-pengalaman yang relevan.
·
Meningkatkan
keaktifan, kedinamisan, dan kesadaran terhadap lingkungan sehingga dapat
menggerakkan motivasi untuk penyesuaian diri secara lebih sadar.
·
Meningkatkan
pengamatan dan penilaian secara objektif terhadap lingkungann sehingga perilaku
penyesuaian diri menjadi lebih rasional dan realitas.
·
Menegmbangkan
kemampuan mengelola pengalaman dalam kehidupan sehari-hari secara berkelanjutan
sehingga dapat mendorong kea rah proses sosialisasi yang semakin mantap.
4. Kemampuan (capacity)
Perkembangan
kemampuan remaja dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor, juga dapat
mewarnai dinamika peneysuaian dirinya. Pengaruh aspek-aspek itu dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a)
Kemampuan
kognitif seperti pengamatan, perhtian, tanggapan, fantasi, dan perpikir,
merupakan srana dasar untuk pengambilan keputusan oleh remaja dalam melakukan
penyesuaian diri.
b)
Kemampuan
afeksi seperti sikap, perasaan, emosi, dan penghayatan terhadap nilai-nilai dan
moral akan menjadi dasar pertimbangan bagi kognisi dalam proses penyesuaian
remaja.
c)
Kemampuan
psikomotorik menjadi sumber kekuatan yang mendorong remaja untuk melakukan
penyesuaian diri disesuaikan dengan dorongan dan kebutuhannya.
Ketiga
kemampuan itu akan membangun suatu hubungan dialektis yang dinamis dalam
dinamika proses penyesuaian diri remaja. Dinamika proses penyesuaian diri
remaja akan berlangsung lancer dan baik, manakala ketiga kemampuan itu
membentuk suatu kerjasama yang terpadu dan harmonis. Sebaliknya, jika terjadi
ketidak-harmonisan antara ketiga kemampuan itu, maka dapat menimbulkan konflik,
kecemasan, atau bahkan frustasi.
5. Kepribadian (personality)
Remaja yang
sedang mengalami perkembangan pesat pada segala aspeknya, maka kepribadiannya
pun sangat dinamis. Kedinamisan kepribadian remaja itu akan sangat mewarnai
dinamika penyesuaian dirinya. Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir
operasional formal, sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang
dapat dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan
lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, dan cenderung membangun
budaya kelompoknya sendiri akan sangat memberikan warna tersendiri trehadap
dinamika penyesuaian diri remaja.
G. Implikasi
Proses Penyesuaian Diri Remaja
Lingkungan sekolah mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban
fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya
dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan
keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan jika anak didik
mengalami masalah.
Oleh karena itulah disetiap sekolah
lanjutan ditunjuk wali kelas yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika
mereka menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru bimbingan dan
penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai masalah pribadi,dan masalah
penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tuntutan sekolah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
ü Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa
“betah” (at home) bagi anak didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis.
ü Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi
anak.
ü Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi
belajar, sosial, maupun seluruh aspek pribadinya.
ü Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah
belajar.
ü Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar
motivasi belajar.
Karena di sekolah guru merupakan
figure pendidik yang penting dan besar pengaruhnya terhadap penyesuaian
siswa-siswanya, maka dituntut sifat-sifat guru yang efektif, yakni sebagai
berikut (Ryans dalam Garrison, 1956).
§ Memberi kesempatan (alert), tampak antusias dan berminat
dalam aktivitas siswa dan kelas.
§ Ramah (cheerful) dan optimistis.
§ Mampu mengontrol diri, tidak mudah kacau (terganggu), dan
teratur tindakannya
§ Senang kelakar, mempunyai rasa humor.
§ Mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahannya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia tidak dilahirkan dalam
keadaan telah mampu menyesuaikan diri, maka penyesuaian diri terhadap
lingkungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan memerlukan proses yamg cukup
unik. Penyesuaian diri dapat diartikan adaptasi, konformitas, penguasaan, dan
kematangan emosional. Proses penyesuaian diri yang tertuju pada pencapaian
keharmonisan antara faktor internal dan eksternal anak sering menimbulkan
konflik, tekanan, frustasi, dan berbagai macam perilaku untuk membebaskan diri
dari ketegangan.
Kondisi fisik, mental, dan emosional
dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan di mana kemungkinan
akan berkembang proses penyesuaian yang baik atau salah. Selain faktor
lingkungan, faktor psikologis, kematangan, kondisi fisik, dan kebudayaan juga
mempengaruhi proses penyesuaian diri.
Permasalahn-permasalahan penyesuaian
diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga
seperti keretakan keluarga. Selain itu permasalahan-permasalahan penyesuaian
akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal.
Lingkungan sekolah juga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain megemban
fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan. Di sekolah, guru hendaknya dapat
bersikap yang lebih efektif, seperti adil, jujur, menyenangkan dan sebagainya
sehingga siswanya akan merasa senang dan aman bersamanya.
B. Kritik
Menurut kelompok kami ketidakmampuan
menyesuaikan diri pada remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal dan
lebih mengacu pada ketidakmampuan orang tua dalam membimbing remaja menuju
penyesuaian diri yang menyebabkan kondisi fisik, mental dan emosional remaja
menjadi labil.
Selain itu lingkungan yang tidak
mendukung penyesuaian diri remaja menyebabkan semakin sulitnya remaja dalam
melakukan penyesuaian diri.
C. Saran
Menurut kelompok kami seharusnya
orang tua memahami keadaan remaja anaknya sehingga orang tua mampu mengarahkan
anak remajanya menuju penyesuaian diri yang tepat. Selain itu orang tua juga
harus peduli dengan semua faktor berpengaruh pada proses penyesuaian diri
remaja.
D. Daftar
Pustaka
Mu’tadin, Z. 2002. Penyesuaian Diri Remaja.
www.e-psikologi.com
Prof. Dr. H. M asrori. 2003. Perkembangan Peserta Didik
Prof. Dr. H. M asrori. 2003. Perkembangan Peserta Didik
Mohammad, A & Mutia, S. (2004). Psikologi remaja
perkembangan peserta didik Edisi Kedua. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
http://meccunindra.blogspot.com. Diakses pada tanggal
03 Maret 2013. Makasssar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar