Senin, 03 November 2014

Penyesuaian Diri dan Permasalahannya



MAKALAH
PENYESUAIAN DIRI DAN PERMASALAHAN PADA REMAJA
Mata Kuliah : Perkembangan Peserta Didik













Disusun oleh kelompok 12 :

Gafur Abdilah
Rizki Basriani 

          

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMATIKA KOMPUTER

STKIP PGRI BANJARMASIN


TAHUN AKADEMIK 2014



K A T A   P E N G A N T A R



Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya sehingga penyusunan makalah  ini berjalan lancar dan terselesaikan dengan baik. Makalah  ini disusun untuk melengkapi tugas kelompok sebagai syarat untuk melakukan persentasi mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan.
Makalah ini merupakan makalah pertama yang kami buat tentang bahasan “Penyesuaian Diri dan Permasalahannya”. Sebagaimana dalam makalah kami yang pertama ini, makalah ini bermaksud untuk menyumbangkan sebagian pengetahuan yang telah kami diskusikan dengan berbagai sumber tentunya. Diharapkan pembaca dapat memiliki wawasan yang luas, arif, dan bijaksana dalam menelaah dan menyikapi problematika tentang Penyesuaian Diri dan Permasalahannya.
Selain hal tersebut, harapan yang lebih besar adalah jika pembaca mampu memecahkan secara professional dan ilmiah. Kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu , curahan tenaga dan pikiranya untuk menghasilkan makalah ini disampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan dapat member sumbangsi yang positif bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan, dan kami mengaharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Banjarmasin, 20 Oktober 2014






Kelompok 12





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan di luar sekolah ia memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribadi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu di masa mendatang.
Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan dimana kemungkinan akan berkembang proses penyesuaian yang baik atau yang salah. Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme yang aktif. Ia aktif dengan tujuan dan aktifitas yang berkesinambungan. Ia berusaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya.
Penyesuaian diri adalah suatu proses. Dan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya adalah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Untuk lebih jelasnya marilah kita tinjau secara lebih rinci pengertian dan proses penyesuaian diri, karakteristik penyesuaian diri remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1.Apakah pengertian dari penyesuain diri itu?
2.Bagaimana proses penyesuaian diri?
3.Apa saja karakteristik penyesuaian diri?
4.Apa saja faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri?
5.Apa saja permasalahan penyesuaian diri remaja?
6.Bagaimana dinamika penyesuaian diri remaja ?
7.Bagaimana implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan?


C. Ruang Lingkup
Dari masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, maka pemakalah menetapkan ruang lingkup untuk materi yang akan dibahas yakni:
1.      Konsep penyesuaian diri remaja,
2.      Faktor yag mempengaruhi proses penyesuaian diri remaja,
3.      Permasalahan pada proses penyesuaian diri remaja,
4.      Implikasi penyesuaian diri remaja.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konfornitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery).
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut.
a.     Aspek-aspek Penyesuaian Diri
1.      Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.
2.      Penyesuaian Sosial
Setiap iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
b.   Penyesuaian diri dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut :
·         Penyesuaian berarti adaptasi: dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa “survive” dan memperbolehkan kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan.
·          Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip.
·         Penyesuaian dapat diartikan sebagai penguasaan,yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon- respon sedemikian rupa, sehingga bisa mrngatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/ memenuhi syarat.
·         Penyesuaian dapat diartikan penguasa dan kematangan emosional yang tepat pada setiap situasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkunganya.

B. Penyesuaian Diri yg Baik
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik atau yang dalam istilah aslinya disebut “well adjusted person” adalah manakala individu itu mampu melakukan respons-respons yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respons dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya respons-respons yang dilakukan individu cocok dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok individu, dan hubungan antara individu dengan penciptanya. Bahkan,dapat dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri itu dikatakan baik.
Dengan demikian, individu yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah yang talah belajar mereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan social tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, social, agama, dan pekerjaan.
C. Proses Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai.Penyesuaian yang sempurna terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya di mana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan di mana semua fungsi organisme/individu berjalan normal.
Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang sempuna seperti itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong process), dan manusia terus-menerus berupaya menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respon penyesuaian, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara kondisi-kondisi keseimbangan yang lebih wajar. Penyesuaian adalah suatu proses kearah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat saja muncul konflik, tekanan, dan frustasi, dan individu didorong meneliti berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan diri dari ketegangan.
Apakah seseorang berhadapan dengan penyesuaian sehari-hari yang sederhana, atau suatu penyesuaian yang rumit, terdapat suatu pola dasar yang terdiri dari elemen-elemen tertentu. Contoh: seorang anak yang membutuhkan rasa kasih sayang dari ibunya yang terlalu sibuk dengan tugas-tugas lain. Anak akan frustasi dan berusaha sendiri menemukan pemecahan untuk mereduksi ketegangan/kebutuhan yang belum terpenuhi. Dia mungkin mencari kasih sayang dimana-mana, atau mengisap jarinya, atau bahkan tidak berupaya sama sekali, atau makan secara berlebihan, sebagai respon pengganti bila kebutuhan-kebutuhan tidak terpenuhi secara wajar.
Dalam beberapa hal, respon pengganti tidak tersedia, sehingga individu mencari suatu respon lain yang akan memuaskan motivasi dan mereduksi ketegangan.
Individu dikatakan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau apabila dapat diterima oleh lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu lingkungannya.
D. Karakteristrik Penyesuaian Diri Remaja
Sesuai dengan kekhasan perkembangan fase remaja, maka penyesuaian diri dikalangan remaja pun memiliki karakteristik yang khas pula. Adapun karakteristik penyesuaian diri remaja adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini :
1.   Penyesuaian diri remaja terhadap peran dan identitasnya
Pesatnya perkembangan fisik dan psikis, seringkali menyebabkan remaja mengalami krisis peran dan identitas. Sesungguhnya, remaja senantasa berjuang agar dapat memainkan perannya sesuai dengan perkembangan masa peralihannya dari masa anak-anak menjadi masa dewasa. Tujuannya adalah memperoleh identitas diri yang semakin jelas dan dapat dimengerti serta diterima oleh lingkungannya, baik lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dalam konteks ini, penyesuaian diri remaja secara khas berupaya untuk dapat berperan sebagai subjek yang kepribadiannya memang berbeda dengan anak-anak ataupun orang dewasa.
2.   Penyesuaian diri remaja terhadap pendidikan
Krisis identitas atau mas topan dan badai pada diri remaja seringkali menimbulkan kendala dalam penyesuaian diri terhadap kegiatan belajarnya. Pada umumnya, remaja sebenarnaya mengetahui bahwa untuk menjadi orang yang sukses harus rajin belajar. Namun, karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas diri yang kuat menyebabkan mereka sering kali lebih senang mencari kegiata-kegiatan selain belajar tetapi menyenangkan bersama-sama dengan kelompoknya. Akibatnya, yang muncul dipermukaan adalah sering kali ditemui remaja tampak malas dan tidak disiplin dalam belajar. Tidak jarang remaja ingin sukses dalam menempuh pendidikan, tetapi dengan cara mudah dan tidak perlu bersusah paah belajar.  Jadi, dalam konteks ini, pada dasarnya penyesuaian diri remaja secara khas berjuang ingin meraih sukses dalam studi, tetapi dengan cara-cara yang menimbulkan perasaan bebas dan senag, terhindar dari tekanan dan konflik, atau bahkan frustasi
3.   Penyesuaian diri remaja terhadap kehidupan seks
Secara fisik, remaja telah mengalami kematangan pertumbuhan fungsi seksual sehngga perkembangan dorongan seksual juga semakin kuat. Ini berate remaja perlu menyesuaikan penyaluran kebutuhan seksualnya dalam batas-batas penerimaan moral dan agama sehingga terbebas dari kecemasan psikoseksual. Jadi, secara khas, penyesuaian diri dalam konteks ini adalah ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan jenisnya serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorongan seksualnya yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh norma dan agama.
4.   Penyesuaian diri remaja terhadap norma social
Dalam kehidupan keluarga, sekolah, maupun masyarakat tentunya memiliki ukuran-ukuran dasar yang dijunjung tinggi mengenai apa yang dikatakan baik atau buruk, benar atau salah,dan yag boleh atau tidak boleh dilakukan, dlam bentuk norma-norma, hokum, nilai-nilai moral, sopan santun, maupun adat istiadat. Berbagai bentuk aturan pada sekelompok masyarakat tertentu belum tentu dapat diterima oleh kelompok masyarakat yang lain. Remaja yang cerderung membentuk dan memiliki kesepakatan tauran tersendiri yang kadang-kadang kurang dapat dimengerti oleh lingkungan masyarakat diluar kelompok remaja tersebut. Dalam konteks ini, penyesuaian diri remaja terhadapa norma social mengarah pada dua dimensi. Pertama, remaja ingin diakui kehadirannya didalam masyarakat luas, yang berarti remaja harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kedua, remaja ingin bebas menciptakan atura-aturan tersendiri yang lebih cocok untuk kelompoknya, tetapi menuntut agar dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat dewasa. Ini dapat diartikan bahwa perjuangan penyesuaian diri remaja terhadap norma social adalah ingin menginteraksikan antara dorongan untuk bertindak bebas dengan tuntutan norma social pada masyaraka. Tujuannya adalah agar dapat terwujud internalisasi norma, baik pada kelompok remaja itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
5.   Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan waktu luang
Waktu luang, bagi remaja merupakan kesempatan untuk memenuhi dorongan bertindak bebas. Namun, disisi lain remaja dituntun mampu menggunakan waktu luangnya untu kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Jadi, dlam konteks ini, upaya penyesuaian diri remaja adalah melakukan penyesuaian antara dorongan kebebasannya serta inisiatif dan kreativitasnya dengan kegiata-kegiatan yang bermanfaat. Dengan demikian, penggunaan waktu luang akan menunjang pengembangan diri dan manfaat social.
6.   Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang
Dalam kehidupannya, remaja juga berupaya untuk memenuhi dorongan social yang memerlukan dukungan uang. Karena remaja sesungguhnya belum sepenuhnya bias mandiri, maka dalam masalah uang ini biasanya memperoleh jatah dari orang tua sesuai dengan kemampuan keluarganya. Rangsangan, tantangan, tawaran, inisiatif, kreativitas, petualangan, dan kesempatam-kesempatan yang diterima dari orang tuanya menjadi tidak cukup. Oleh sebab itu, dalam konteks ini perjuangan penyesuaian diri remaja adlaah berusaha untuk mampu bertindak secara propesional, meakukan penyesuaian antara kelayakan pemenuhan kebutuhannya dengan kondisi ekonomi orang tuanya. Dengan upaya penyesuaian diri sedemikian itu diharapkan penggunaan uang akan menjadi efektif dan efisien serta tidak menimbulkan kegoncangan pada diri remaja itu sendiri.
7.   Penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik, dan frustasi
Karena proses perkembangan yang sangat dinamis, remaja seringkali dihadapkan pada kecemasan, konflik, dan frustasi. Strategi yang digunakan dalam penyesuaian diri dengan kecemasan, konflik, dan frustasi tersebut biasanya melalui suatu mekanisme yang oleh Sigmund Freud disebut dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanisme), seperti : kompensasi, rasionaliasi, proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi, dan fiksasi. Cara-cara yang ditempuh tersebut ada yang cenderung negative atau kurang sehat dan ada pula yang relative positif, misalnya sublimasi. Dalam batas-batas kewajaran dan situasi tertentu untuk sementara cara-cara tersebut memang masih memberikan manfaat dalam upaya penyesuaian diri remaja. Namun, jika cara-cara mekanisme pertahanan diri itu seringkali ditempuh dan menjadi kebiasaan, maka akan menjadi tidak sehat.

E. Faktor-faktor yg Mempengaruhi Proses Penyesuaian Remaja
Penyesuaian diri dipengaruhi oleh banyak faktor, secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja menurut Hariyadi, dkk (1995:110) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1)   Faktor internal
a)    Faktor motif, yaitu motif-motif sosial seperti motif berafiliasi, motif berprestasi dan motif mendominasi.
b)   Faktor konsep diri remaja, yaitu bagaimana remaja memandang dirinya sendiri, baik dari aspek fisik, psikologis, sosial maupun aspek akademik. Remaja dengan konsep diri tinggi akan lebih memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri yang menyenangkan dibanding remaja dengan konsep diri rendah, pesimis ataupun kurang yakin terhadap dirinya.
c)    Faktor persepsi remaja, yaitu pengamatan dan penilaian remaja terhadap objek, peristiwa dan kehidupan, baik melalui proses kognisi maupun afeksi untuk membentuk konsep tentang objek tersebut.
d)   Faktor sikap remaja, yaitu kecenderungan remaja untuk berperilaku positif atau negatif. Remaja yang bersikap positif terhadap segala sesuatu yang dihadapi akan lebih memiliki peluang untuk melakukan penyesuaian diri yang baik dari pada
remaja yang sering bersikap negatif.
e)    Faktor intelegensi dan minat, intelegensi merupakan modal untuk menalar. Manganalisis, sehingga dapat menjadi dasar dalam melakukan penyesuaian diri. Ditambah faktor minat, pengaruhnya akan lebih nyata bila remaja telah memiliki minat terhadap sesuatu, maka proses penyesuaian diri akan lebih cepat.
f)     Faktor kepribadian, pada prinsipnya tipe kepribadian ekstrovert akan lebih lentur dan dinamis, sehingga lebih mudah melakukan penyesuaian diri dibanding tipe kepribadian introvert yang cenderung kaku dan statis.
2). Faktor eksternal
a)  Faktor keluarga.
Terutama pola asuh orang tua. Pada dasarnya pola asuh demokratis dengan suasana keterbukaan akan lebih memberikan peluang bagi remaja untuk melakukan proses penyesuaian diri secara efektif.
b)  Faktor kondisi sekolah.
Kondisi sekolah yang sehat akan memberikan landasan kepada remaja untuk dapat bertindak dalam penyesuaian diri secara harmonis.
c)  Faktor kelompok sebaya.
Hampir setiap remaja memiliki teman-teman sebaya dalam bentuk kelompok. Kelompok teman sebaya ini ada yang menguntungkan pengembangan proses penyesuaian diri tetapi ada pula yang justru menghambat proses penyesuaian diri remaja.
d)  Faktor prasangka sosial.
Adanya kecenderungan sebagian masyarakat yang menaruh prasangka terhadap para remaja, misalnya memberi label remaja negatif, nakal, sukar diatur, suka menentang orang tua dan lain-lain, prasangka semacam itu jelas akan menjadi kendala dalam proses penyesuaian diri remaja.
e)  Faktor hukum dan norma sosial.
Bila suatu masyarakat benar benar konsekuen menegakkan hukum dan norma-norma yang berlaku maka akan mengembangkan remaja-remaja yang baik penyesuaian dirinya. Sunarto dan Hartono (1994:188) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yaitu :
Ø  Kondisi fisik
Kondisi fisik termasuk di dalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan syaraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan, penyakit dan sebagainya. Kualitas penyesuian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan fisik yang baik.

Ø  Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional. Penyesuaian diri pada tiap-tiap individu akan bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya.

Ø   Penentu psikologis
Banyak sekali faktor psikologis yang mempengaruhi prosespenyesuaian diri, diantaranya yaitu pengalaman, belajar,kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, frustrasi dan konflik.

Ø   Kondisi lingkungan
Keadaan lingkungan yang damai, tentram, penuh penerimaan, pengertian dan mampu memberi perlindungan kepada nggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri.

Ø   Penentu cultural
Lingkungan kultural dimana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola penyesuaian dirinya. Contohnya, tata cara kehidupan di panti asuhan akan mempengaruhi bagaimana remaja menempatkan diri dan bergaul dengan orang lain di sekitarnya.
Pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

F. Dinamika Penyesuaian Diri Remaja
Penyesuaian diri merupaka suatu proses yang bersifat dinamis. Dinamika penyesuaian diri itu melibatkan factor-faktor psikologis dasar yang menghantarkan individu kepada perilaku yang ajastif/penyesuaian diri yang baik (adjustive behavior). Perilaku ajastif adalah respons-respon yang diarahkan kepada usaha memenuhi tuntunan internal dan external. Tujuan dari respons-respons yang ajastif adalah untuk menyiapkan hubungan yang tepat dan akurat antara individu dan realitas. Dilihat dari sudut pandang yang lebih dalam, tujuannya adalah mengenal ekspresi dan kepuasan faktor-faktor dinamis di dalam kepribadian, misalnya : pengurangan ketegangan, konflik, dan frustasi. Namun demikian, dalam hubungannya dengan kebutuhan dasar, perilaku ajastif tidak selalu mengarahkan respons kepada orientasi pengurangan dan pemuasan kebutuhan dasar, baik berupa dorongan fisikologi, psikologis, maupun social.
Ada sejumlah faktor psikologis dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika penyesuaian diri, yaitu :
1.  Kebutuhan (need)
2.  Motivasi (motivation)
3.  Pesrepsi (perception)
4.  Kemampuan (capacity)
5.  Kepribadian (personality)
Bagaimanakah masing-masing faktor psikologis dasar itu mempengaruhi dinamika penyesuaian diri remaja adalah bagaimana didiskusikan berikut ini.
1.  Kebutuhan (need)
Ini merupakan kebutuhan yang bersifat internal. Dari faktor ini, penyesuaian diri ditafsirkan sebagai suatu jenis respons yang diarahkan untuk memenuhi tuntunan-tuntunan yang harus dipenuhi oleh individu. Tuntunan-tuntunan untuk mengatasinya itu dalam prosesnya didorong secara dinamis oleh kebutuhan-kebutuhan internal yang disebut dengan “need” tersebut
2.  Motivasi (motivation)
Penafsiran terhadap karakter dan tujuan respons individu serta hubunganya dengan penyesuaian diri tergantung pada konsep-konsep yang menerangkan hakikat motivasi. Ada lima teori motivasi yang dapat digunakan untuk menerangkan dinamika penyesuaian diri, yaitu :
a)  Teori stimulus-repons
Dari perspektif teori ini, motivasi dianggap sebagai sesuatu yang kurang berate sebab semua perilaku, termasuk yang kurang berarti sebab semua perilaku, termasuk penyesuaian diri, muncul hanya sebagai pengkondisian untuk merespons stimulus sehingga perilaku refleks dan kebiasaan membentuk totalitas respons individu.
b)  Teori fisiologis
Teori ini erat kaitannya dengan teori stimulus-respons, dan berpandangan bahwa pengurangan motivasi atau usaha pemuasan motif tertentu ditentukan oleh stimulus. Padahal, sebenarnya banyak motif dan kebeutuhan psikologis lainnya yang cukup berarti bagi penyesuaian diri yang perlu diintegrasikan ke dalam setiap teori motivasi. Teori fisiologis tidak dapat menjawab tantangan itu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami kekhususan nilai penyesuaian diri harus berpaling pula kepada hal-hal diluar unsure fisiologis.
c)  Teori intrinsic
Teori ini memiliki beberapa bentuk, tergantung pada filsafat yang melandasinya, tetapi ada dua pandangan yang sangat menonjol dalam hubungannya dengan penyesuaian diri, yaitu : pandangan “hornic” dan “psikonalisis”. Menurut pandangan “hornic” yang dikemukakan oleh William McDougall mengatakan bahwa semua perilaku individu itu dimunculkan untuk melayani dan memenuhi instink dasar. Oleh karena itu, instink dasar merupakan penentu internal yang utama dalam penyesuaian diri individu.
Pada awalnya, teori ini banyak diminati, namun dalam perkembangan selanjutnya banyak dikecam orang. Adapun pandangan psikonalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud membagi dua jenis instink, yaitu instink kehidupan (eros) dan instink kematian (tanthos). Dalam hubungannya dengan penyesuaian diri, Sigmund Freud berpandangan bahwa instink seksual yang merupakan salah satu bentuk instink kehidupan sebagai penentu perkembangan penyesuaian diri individu. Teori instink dari Sigmud Freud itu dapat digunakan untuk memahami penyesuaian diri individu berdasarkan tahap-tahap perkembangan.
d)  Teori motivasi tak sadar
Teori ini juga didominasi dan dikemukakan oleh Sigmund Freud. Sebagai salah satu bukti adanya motivasi tak sadar yang mempengaruhi dinamika penyesuaian diri dibuktikan oleh Sigmund Freud dalam eksperimennya melalui pengalaman-pengalaman psikologi klinisnya yang mendapati bahwa orang-orang yang berprilaku malasuai (maladjusted) maupun yang berpilaku ajastif (adjusted) mengungkapkan bahwa motivasi yang mendasari symptom perilakunya itu sering tidak diketahui atau tidak disadari.
e)  Teori hedonistic
Teori ini masih berhubungan dengan teori Sigmund Freud tentang prinsip-prinsip pemuasan kesenangan (pleasure principles). Menurut teori ini, suasana hedonism berarti perilaku yang diarahkan untuk memenuhi kesenangan individu dan ini dianggap penting karena pada dasarnya kebutuhan merupakan tuntunan internal yang harus dipuaskan agar dapat mencapai penyesuaian diri yang baik. Kebutuhan merupakan kecenderungan yang bersifat dinamis yang berorentasi pada objek, kualitas, dan pengalaman yang diperlukan untuk mengetahui keadaan fisik, psikis, dan social suatu organisme. Jika salah satu bentuk kecenderungan yang bersifat dinamis itu terganggu karena tidak terpenuhi, maka organisme akan cenderung membentuk perilaku yang tidak memadai, simptomatk, dan patologos. Ini berarti bahwa penyesuaian diri individu menjadi sangat terganggu sehingga taidak dapat berkembang secara baik.
3.  Pesrepsi (perception)
Setiap individu dalam menjalani hidupnya selalu memiliki presepsi sebagai hasil penghayatannya terhadap bebagai stimulus yang berasal dari lingkungannya. Tidak jarang persepsi dipahami sebagai suatu pencerminaan yang sempurna tentang realitas. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Setidaknya ada tiga alas an yang mendukung bahwa persepsi itu bukanlah cermin realitas : Pertama, indera yang dimiliki oleh manusia tidak dapat memberikan respons terhadap semua aspek yang ada dalam lingkungan. Kedua, manusia seringkali melakukan persepsi terhadap stimulus-stimulus yang pada kenyataannya tidak ada. Ketiga, persepsi manusia itu tergantung pada apa ygang diharapkan, pengalaman yang dimilikinya, dan motivasi yang ada pada dirinya. Dengan demikian, persepsi sesungguhnya bukanlah merupakan suatu gambaran yang persis sama dengan realitas yang ada, melainkan gambaran yang perwujudannya sudah diwarnai oleh interpretasi individu.
Jadi, persepsi sesungguhnya merupakan proses menginterpretasikan dan mengorganisasikan pola-pola stimulus yang berasal dari lingkungan. Dalam pengertian ini terdapat dua unsure penting yakni interpretasi dan mengorganisasian. Interpretasi itu amat penting dalam suatu persepsi karena realitas didunia ini amat bervariasi sehingga tidak jarang memerlukan upaya pemahaman dari individu agar menjadi bermakna bagi individu yang bersangkutan. Sedangkan pengorganisasian diperlukan dalam persepsi karena bebebagai informasi yang sampai pada reseptor individu tidak jarang ada yang membingungkan dan tak terorganisasikan. Agar informasi yang sampai pada reseptor itu dapat menjadi jelas dan bermakna, maka individu masih perlu mengorganisasikannya ketika informasi itu diterima oleh reseptor.
Persepsi juga dapat diartikan sebagai cara-cara dimana individu menginterpretasikan informasin yang diperoleh yang berdasarkan pada pemahaman individu itu sendiri. Dengan kata lain, individu menyadari kehadiran suatu stimulus, tetapi individu menginterpretasikan stimulus tersebut. Dalam definisi ini terkandung dua makna, yakni : pertama, persepsi itu tergantung pada sensasi-sensasi yang didasarkan pada informasi sensori dasar (basic sensory information); kedua, sensasi-sensai itu memerlukan interpretasi agar presepsi adapat terjadi. Informasi sensori dasar disini adalah informasi yang sesungguhnya terjadi yang sampai pada alat indra kita. Misalnya, suara loncong tanda masuk sekolahyang sampai pada telinga para siswa. Jadi, para siswa tidak akan mendengar suara lonceng tanda masuk itu jika lonceng tanda masuk memang tidak ada. Namun, bagaimana lonceng tanda masuk itu mempengaruhi para siswa untuk bergegas masuk kelas atau tidak, sangat tergantung pada interpretasi para siswa terhadap suara itu. Di sinilah letak terjadinya persepsi.
Dengan persepsi, individu dapat menentukan bagaimana seharusnya bereaksi terhadap stimulus yang ada disekitarnya karena persepsi merupakan rangkaian peristiwa yang mengantarai stimulus dan prilaku tertentu. Morgan (1981) lebih menekan pada proses interpretasi terhadap apa yang dialami dan dirasakan untuk membuatnya bermakna. Untuk membuat sesuatau agar lebih bermakna diperlukan adanya keterlibatan aktif dari aktifitas inderawi yang berhubungan dengan pengamatan dan interpretasi.
Yang masih sering menjadi bahan perdebatan sampai dengan saat ini adalah apakah persepsi itu dibawa sejak lahir ataukah merupakan hasil dari proses belajar atau pengalaman. John Lock dan para pengikutnya berpendapat bahwa persepsi itu tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil proses belajar dan pengalaman. Bahkan merekan menegaskan bahwa persepsi hanya mungkin terjadi pada individu setelah melalui proses pengalaman dan belajar yang cukup lama (Eysenck, 1993). Sebaliknya, para psikolog Jerman, terutama para penganut Gestalt, berpendapat bahwa persepsi itu merupakan pembawaan sejak lahir. Mereka secara tegas mengatakan bahwa yang paling penting dalam proses presepsi adalah yang dibawa sejak lahir dan tidak tergantung secara langsung pada pengalaman.
Eysenck (1993) mempersoalkan pendapat para penganut Gestalt ini. Ia mengatakan, kalau persepsi itu merupakan pembawaan sejak lahir, maka seharusnya setiap individu dapat memprersepsi sesuatu secara tepat. Namun, kenyataanya pada bayi yang baru saja lahir barangkali sudah dapat mempresepsi stimulus yang ada disekelilingnya, tetapi tidak dapat memanifestasikan dan apalagi mendeskripsikan persepsinya itu. Dengan demikian, persepsi sesungguhnya memerlukan proses belajar dan pengalaman, meskipun ada beberapa keterampilan perceptual tidak menuntut pengalaman, misalnya: anak bayi sudah mampu mendengarkan suara-suara di sekelilingnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa persepsi adalah proses individual dalam menginterprestasikan, mengorganisasikan, dan member makna terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan dimana individu itu berada yang merupakan hasil dari proses belajar dan pengalaman.
Persepsi yang ada pada individu tidak terjadi dengan sendirinya tetapi melalu suatu proses. Prosesnya adalah objek kejadian yang dialami oleh individu kan menimbulkan stimulus yang kemudian mengenal alat indera. Proses ini dinamakan proses kealaman. Stimulus yang diterima alat indera ini dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini disebut proses fisologis. Kemudian terjadilah proses di dalam otak sehingga individu dapat menyadari apa yang diterima melalui alat inderanya. Proses yang terjadi dalam otak ini dinamakan proses psikologis. Pada tahap ini individu member makna terhadap apa yang diterima melalui inderanya itu. Menurut Atkinson dan Hilgard (1983) proses terjadinya persepsi tergantung pada pengalaman masa lalu dan pendidikan yang telah diperoleh individu, perangsang spesifik yang menimbulkan reaksi alat-alat indera pada waktu itu, dan interpretasi individu dalam menafsirkan informasi yang diterimanya. Serangkaian penghayatan dan proses belajar yang dilakukan oleh individu kan dipakai sebagai pedoman tingkah laku. Dalam menafsirkan suatu kejadian atau situasi, persepsi setiap individu dapat berbeda tergantung pada bagaimana individu tersebut mengamati dan menanggapinya.
Dengan demikian, persepsi terjadi pada individu melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) adanya stimulus yang ditangkap oleh panca indera, (2) adanya kesadaran individu terhadap stimulus, (3) individu menginterpretasikan stimulus tersebut, dan (4) individu mewujudkan kedalam tindakan. Dalam prosesnya, persepsi itu juga dipengaruhi oleh factor fungsional dan structural. Faktor fungsional adalah factor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang bersifat personal, sedangkan factor structural dalah factor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik dan pengaruh syaraf individu.
Persepsi remaja memiliki pengaruh yang berarti terhadap dinamika penyesuaian diri karena persepsi memiliki peranan penting dalam perilaku, yaitu :
·         Sebagai penentuan perkembangan sikap terhadap sesuat objek atau peristiwa. Ini berarti akan berpengaruh terhadap perilaku penyesuain diri yang lebih terarah.
·         Sebagai pengembangan fungsi-fungsi kognitif, afektif, dan konatif sehingga berpengaruh terhadap penyesuaian yang lebih utuh dan proporsional sesuai dengan pertimbangan dan pengalaman-pengalaman yang relevan.
·         Meningkatkan keaktifan, kedinamisan, dan kesadaran terhadap lingkungan sehingga dapat menggerakkan motivasi untuk penyesuaian diri secara lebih sadar.
·         Meningkatkan pengamatan dan penilaian secara objektif terhadap lingkungann sehingga perilaku penyesuaian diri menjadi lebih rasional dan realitas.
·         Menegmbangkan kemampuan mengelola pengalaman dalam kehidupan sehari-hari secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong kea rah proses sosialisasi yang semakin mantap.
4.  Kemampuan (capacity)
Perkembangan kemampuan remaja dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor, juga dapat mewarnai dinamika peneysuaian dirinya. Pengaruh aspek-aspek itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)    Kemampuan kognitif seperti pengamatan, perhtian, tanggapan, fantasi, dan perpikir, merupakan srana dasar untuk pengambilan keputusan oleh remaja dalam melakukan penyesuaian diri.
b)   Kemampuan afeksi seperti sikap, perasaan, emosi, dan penghayatan terhadap nilai-nilai dan moral akan menjadi dasar pertimbangan bagi kognisi dalam proses penyesuaian remaja.
c)    Kemampuan psikomotorik menjadi sumber kekuatan yang mendorong remaja untuk melakukan penyesuaian diri disesuaikan dengan dorongan dan kebutuhannya.
Ketiga kemampuan itu akan membangun suatu hubungan dialektis yang dinamis dalam dinamika proses penyesuaian diri remaja. Dinamika proses penyesuaian diri remaja akan berlangsung lancer dan baik, manakala ketiga kemampuan itu membentuk suatu kerjasama yang terpadu dan harmonis. Sebaliknya, jika terjadi ketidak-harmonisan antara ketiga kemampuan itu, maka dapat menimbulkan konflik, kecemasan, atau bahkan frustasi.
5.  Kepribadian (personality)
Remaja yang sedang mengalami perkembangan pesat pada segala aspeknya, maka kepribadiannya pun sangat dinamis. Kedinamisan kepribadian remaja itu akan sangat mewarnai dinamika penyesuaian dirinya. Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal, sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, dan cenderung membangun budaya kelompoknya sendiri akan sangat memberikan warna tersendiri trehadap dinamika penyesuaian diri remaja.


G. Implikasi Proses Penyesuaian Diri Remaja
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah.
Oleh karena itulah disetiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika mereka menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai masalah pribadi,dan masalah penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tuntutan sekolah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
ü  Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” (at home) bagi anak didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis.
ü  Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
ü  Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pribadinya.
ü  Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
ü  Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
Karena di sekolah guru merupakan figure pendidik yang penting dan besar pengaruhnya terhadap penyesuaian siswa-siswanya, maka dituntut sifat-sifat guru yang efektif, yakni sebagai berikut (Ryans dalam Garrison, 1956).
§  Memberi kesempatan (alert), tampak antusias dan berminat dalam aktivitas siswa dan kelas.
§  Ramah (cheerful) dan optimistis.
§  Mampu mengontrol diri, tidak mudah kacau (terganggu), dan teratur tindakannya
§  Senang kelakar, mempunyai rasa humor.
§  Mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahannya sendiri.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri, maka penyesuaian diri terhadap lingkungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan memerlukan proses yamg cukup unik. Penyesuaian diri dapat diartikan adaptasi, konformitas, penguasaan, dan kematangan emosional. Proses penyesuaian diri yang tertuju pada pencapaian keharmonisan antara faktor internal dan eksternal anak sering menimbulkan konflik, tekanan, frustasi, dan berbagai macam perilaku untuk membebaskan diri dari ketegangan.
Kondisi fisik, mental, dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan di mana kemungkinan akan berkembang proses penyesuaian yang baik atau salah. Selain faktor lingkungan, faktor psikologis, kematangan, kondisi fisik, dan kebudayaan juga mempengaruhi proses penyesuaian diri.
Permasalahn-permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti keretakan keluarga. Selain itu permasalahan-permasalahan penyesuaian akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal.
Lingkungan sekolah juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain megemban fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan. Di sekolah, guru hendaknya dapat bersikap yang lebih efektif, seperti adil, jujur, menyenangkan dan sebagainya sehingga siswanya akan merasa senang dan aman bersamanya.
B. Kritik
Menurut kelompok kami ketidakmampuan menyesuaikan diri pada remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal dan lebih mengacu pada ketidakmampuan orang tua dalam membimbing remaja menuju penyesuaian diri yang menyebabkan kondisi fisik, mental dan emosional remaja menjadi labil.
Selain itu lingkungan yang tidak mendukung penyesuaian diri remaja menyebabkan semakin sulitnya remaja dalam melakukan penyesuaian diri.
C. Saran
Menurut kelompok kami seharusnya orang tua memahami keadaan remaja anaknya sehingga orang tua mampu mengarahkan anak remajanya menuju penyesuaian diri yang tepat. Selain itu orang tua juga harus peduli dengan semua faktor berpengaruh pada proses penyesuaian diri remaja.

D. Daftar Pustaka
Mu’tadin, Z. 2002. Penyesuaian Diri Remaja. www.e-psikologi.com
Prof. Dr. H. M asrori. 2003. Perkembangan Peserta Didik
Mohammad, A & Mutia, S. (2004). Psikologi remaja perkembangan peserta didik Edisi Kedua. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

http://meccunindra.blogspot.com. Diakses pada tanggal 03 Maret 2013. Makasssar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar